
Nasional
Analisaqq.net
PDI Perjuangan menggelar perayaan hari jadinya yang ke-44 di Jakarta Convention Center, Selasa (10/1). Megawati Soekarnoputri tampak bangga menyaksikan partai berlambang kepala banteng ini tengah jaya.
ampak hadir Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla dan nyaris seluruh menteri. Begitu pula para kepala daerah dan pimpinan partai koalisi.
"Merdeka, merdeka, merdeka," teriak Megawati diikuti gemuruh suara kadernya.
Mega menyerahkan potongan tumpeng pertama untuk Jokowi, dan potongan kedua untuk JK.
Dalam pidato politiknya, Mega menyampaikan pesan pada Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla. PDIP siap menjaga pemerintahan yang sah. Kader-kader PDIP siap mengamankan pemerintahan Jokowi-JK di tengah berhembusnya isu makar.
"Kalau ada yang mau macam-macam, pak presiden, pak wapres, panggil saja kita," kata Mega disambut tepuk tangan para kader partai dan tamu undangan.
Presiden Jokowi mengapresiasi pernyataan Megawati ingin melawan pihak-pihak yang hendak menjatuhkan pemerintahan sah secara konstitusional. Menurut Jokowi, pernyataan tersebut bentuk perjuangan demokrasi.
Di hari yang sama dengan Megawati pidato dengan segala kemegahannya, Rachmawati Soekarnoputri di atas kursi roda didorong menuju ruang Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Tak cuma Rachma, ada Ahmad Dhani dan Mayjen (Purn) Kivlan Zen di sana.
Para tersangka kasus dugaan makar ini tengah mengadu kepada pimpinan DPR. Mereka meminta kasus ini dihentikan karena tak ada niatan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
Rachma juga menangis saat menceritakan makar yang dialami ayahnya tahun 1965. Dia mengaku tengah bersama Soekarno saat dewan revolusi mengepung Istana Negara kala itu. Para dewan revolusi itu mencari Soekarno agar dirinya turun sebagai presiden. Dari kejadian itu, Rachmawati tahu definisi makar sebenarnya.
"Pada 1965 saya berada di istana apa saya tahu artinya makar pasukan tidak dikenal mengepung istana menanyakan Presiden di mana itu kan jelas. Tapi kami datang ke MPR Pak," jelasnya.
"Saya berada di Istana Pak, jadi bagaimana yang dikatakan makar itu saya tahu kalau pengumuman di radio dewan revolusi dipimpin oleh Kolonel. Tapi kami ingin datang ke MPR menyampaikan petisi. Kalau mau makar kami kepung istana bukan ke MPR yang katanya ini rumah rakyat," sambung Rachmawati sambil menangis.
Presiden Soekarno mungkin tak pernah membayangkan jika nasib putri-putrinya kelak akan berbeda 180 derajat. Satu jadi ketua partai penguasa, satu lagi jadi tersangka kasus makar. Hari Selasa kemarin, perbedaan keduanya terasa sangat jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar