Selasa, 15 Agustus 2017

Jika SBY Bertemu Megawati, Apa Manfaatnya untuk Jokowi?

Presiden RI ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie dan Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri dalam acara dialog kebangsaan

Berita Nasional - Banyak kata bijak tentang sebuah bangsa, salah satunya, "Bangsa besar adalah bangsa yang menghormati pemimpinnya."

Banyak pula kata bijak tentang pemimpin, di antaranya, "Engkau tidak harus memangku jabatan agar bisa menjadi pemimpin."

Kata bijak berikutnya adalah, "Pemimpin tidak menciptakan pengikut, pemimpin itu menciptakan lebih banyak pemimpin."

Kolaborasi kata bijak tentang bangsa dan kepemimpinan di atas, diucapkan Bung Karno demikian, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri. Untuk itu, pemimpin bangsa ini haruslah belajar dari sejarah kepemimpinan pada masa sebelumnya."

Almarhum Taufik Kiemas pernah mengatakan kepada saya dalam nikmatnya makan siang bersama di meja makan rumah pribadi Jalan Teuku Umar, Jakarta.

“Mas Heru, teruslah berusaha mempertemukan Mbak Mega dan Mas SBY. Saya juga akan terus berusaha, walau belum ada hasil. Namun kita mulai dulu dengan Mbak Puan (demikian almarhum sering menyebut anandanya) yang mewakili untuk bertemu Mas SBY,” ujar Taufik Kiemas.

Ucapan Taufik Kiemas inilah yang membuat saya menangis di Taman Makam Pahlawan Kalibata saat mengantar jenazah almarhum.

Saat ditanya seorang reporter TV mengapa saya menangis. Saya katakan, “Saya merasa berdosa dan sangat kecewa tidak berhasil memenuhi keinginan Mas Taufik sebelum wafat, untuk mempertemukan Mbak Mega dengan Pak SBY”.

Memaknai kemerdekaan

Sejarah kemerdekaan Republik Indonesia tidak boleh hanya dikenang karena keberanian rakyat, atau hanya karena lantangnya teriakan merdeka atau mati.

Ada hal yang jauh lebih penting untuk dimaknai. Keberanian rakyat dan para pemimpinnya dalam berjuang mengorbankan nyawa demi kemerdekaan, tidak akan lahir bila tidak ada rasa persatuan yang kuat dalam jiwa raga bangsa ini.

Persatuan dan saling mengisi, saling memperkuat satu dengan yang lain. Itulah makna sangat penting yang harus terus dijiwai bangsa Indonesia.

Keberanian melawan penjajah demi harga diri dan kemerdekaan hidup bangsa lahir karena kuatnya persatuan.

Lalu bagaimana mungkin mengisi harapan bangsa setelah merdeka, bila kemudian jiwa persatuan itu luntur, apalagi lalu menjadi ajang pertikaian demi kekuasaan yang sejatinya hanya sementara?

Soekarno, Suharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan sekarang Joko Widodo, adalah putra-putri bangsa yang saling menyerahkan tongkat dalam sebuah lomba atletik abadi pembangunan bangsa dan negara Indonesia.
Lomba abadi, karena membangun bangsa tidak akan pernah berhenti.

Rakyat sebagai supporter utama bagi para pemimpin, tentu sangat berharap mereka memenangkan setiap lomba estafet itu.

Hanya bila mereka kompak, saling mengisi, saling menyemangati satu dengan yang lain, maka lomba itu akan selalu dimenangkan.

Hubungan Megawati dengan SBY, dalam hal ini, bukan ‘an-sich’ urusan politik dan partai politik.

Kedua tokoh bangsa ini adalah bagian dari tim estafet pembangunan bangsa Indonesia tadi.

Seperti rakyat yang lain, saya tidak ingin ikut campur urusan para partai politik yang memang keberadaannya untuk saling mendapatkan kekuasaan.

Koalisi, oposisi dan istilah lain, bukan urusan rakyat. Namun saya berkeyakinan, mayoritas rakyat bangsa ini sungguh berharap agar para pemimpinnya, di setiap masa memenangi lomba estafet ini dengan kompak, bersatu dan bermartabat.

Rakyat sering berspekulasi tentang harapan pertemuan yang damai antara Megawati dengan SBY.
Siapa diantaranya yang ‘mau’, dan siapa yang ‘tidak mau’. Menurut saya spekulasi itu tidak perlu, karena kemauan untuk bertemu hanya ada di dalam pikiran dan jiwa beliau berdua.

Saya pribadi terus bermimpi Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono duduk berdua, bicara, menggagas, memberi kontribusi bersama kepada siapapun yang sedang mempimpin bangsa.

Bahkan tanpa harus disebut dengan ‘berdamai’, karena mereka bukan musuh, dan pasti sama-sama mencintai Indonesia.

Bila ini terjadi, saya yakin pula bisa memberi manfaat bagi Presiden Jokowi untuk tidak segan menimba ilmu, melanjutkan estafet, sesuai tongkat yang dipindahtangankan dari pendahulunya. Bukan tongkat yang lain, dan bukan dari orang lain pula.

Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia ke 72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar