
Berita Nasional - "Jika tidak bertindak adil, lebih baik mati," demikian kalimat dengan pemikiran ekstrem dari pakar teori hukum John Rawls yang terkenal. Ia menyiratkan pertanyaan apa arti pentingnya sebuah keadilan? Sebuah paradok: jika tidak berbuat adil, apa yang akan terjadi bagi kehidupan?
Pertanyaan itu sangat relevan dengan Indonesia saat ini, ketika sebuah tragedi di kehidupan masyarakat bawah —konon sebagai orang yang awam hukum— menyentak kita semua. Pembakaran manusia yang dituduh mencuri amplifier di musala. Sebuah tragedi yang berakar dari kebencian, keberingasan yang berlebihan kepada sebuah kata "pencuri".
Kata "pencuri" dilawan dengan istilah yang dalam hukum disebut "eigenrichting" atau bertindak main hakim sendiri. Tanpa sebuah proses hukum manusia menghakimi manusia lainnya. Sebuah tindakan barbar, ibarat manusia di tengah hutan belantara, tanpa peraturan, pranata hukum, dan kebudayaan.
Keadilan
Tangisan seorang istri yang sedang mengandung, suami terbunuh massa, minta sebuah kata "keadilan" dengan kalimat, "Suami saya, tukang servis elektronik, mampir sebentar ibadah salat sambil membawa amplifier, kenapa dibunuh dan dibakar?". Tragedi kemanusiaan yang mengenaskan, yang meminta jawaban kita: Indonesia sebagai negara hukum, di manakah hukum dan keadilan?
Tidak ada kata lain dalam pembelaan hukum korban, kecuali penegak hukum harus bertintak tegas. Hukum harus ditegakkan. Tidak seperti teori Zelnick dan Nonnet, "hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas". Yang berwajib, kepolisian sebagai penegak hukum harus bertindak tegas, mengembalikan ketidaktertiban yang menjadikan gangguan ketidakseimbangan masyarakat. Di sinilah pentingnya menghadirkan kata "keadilan" dalam masyarakat.
Prof. Subekti, SH mengartikan hukum adalah kebenaran dan keadilan, menjadikan sebuah ketertiban hukum. Jika masyarakat terganggu, tidak tertib, dan penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hukum dimaknai "right and justice, so in order". Kasus pembakaran manusia oleh manusia lain tanpa proses hukum jelas mencederai nilai kebenaran, nilai keadilan dan sangat mengganggu ketertiban masyarakat yang menginginkan sebuah keteraturan dalam hidup bersama.
Kasus pembakaran orang yang dituduh pencuri adalah fakta hukum yang harus diungkap kebenarannya. Kebenaran ini harus ditegakkan dalam sebuah sistem proses hukum yang dinamakan penegakan hukum, dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, kehakiman, ditambah peran advokat. Sehingga kebenaran muncul dalam sebuah proses hukum, yang nantinya hukuman menjadikan penghargaan sebagai suatu rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat.
Gangguan akan peristiwa pidana yang terjadi diproses secara hukum untuk memulihkan ketertiban masyarakat seperti sediakala. Jika kebenaran dan keadilan tidak ditegakkan sebagaimana mestinya, maka akan mengancam cita-cita keteraturan dalam hidup bersama dalam masyarakat. Keteraturan dalam hidup bersama ini diawali dengan kesepakatan-kesepakatan bersama, menjadi konsensus yang dinamakan sebuah sistem hukum yang dipilih yaitu konsep sistem negara hukum (rechtstaat).
Dalam sistem negara hukum, hukum menjadi panglimanya, dengan konsekuensi segala problematika yang timbul harus melalui proses hukum untuk diadili. Artinya, masyarakat secara umum akan meminta sebuah "keadilan" ditegakkan. Pernyataan John Rawls bahwa "jika hukum tidak bertindak atas nama keadilan lebih baik mat"i dapat dimaknai secara luas; mati baik secara lahir dan batin.
Derita psikologis bisa berbuah kematian —kematian perasaan, kelaparan, kemiskinan, ancaman kematian ekonomi kehidupan keluarga korban yang ditinggalkan, karena tidak siap tulang punggung keluarga mati mengenaskan sebagai korban pembakaran.
Sebagai manusia harus sadar dalam dirinya terikat hukum dan keadilan. Keadilan adalah sebuah barang berharga, seperti dambaan setiap orang akan "cinta sejati". Orang rela mati untuk hilangnya sebuah rasa kasih sayang, demikian juga dengan keadilan yang menjadi sangat keramat bagi manusia.
Tidak salah filsuf kuno Aristoteles memaknai keadilan sebagai sebuah kebahagiaan. Istri keluarga korban pembakaran terampas kebahagiaannya dengan suami tercintanya, apalagi saat ini sedang mengandung anak.
Saking keramatnya kata keadilan, cendekiawan bingung mengartikannya karena demikian luas cakupannya. Apalagi orang awam hanya tahu minta keadilan, bertanya-tanya dan mencari di mana keadilan. Keadilan sangat mahal bagi orang-orang bawah yang termarjinalkan, tapi, seakan mudah dan dapat dibeli bagi orang atas yang berpunya. Tentu, makna keadilan bukan seperti yang dimaksud oleh segelintir oknum, yang menyelewengkan atas nama keadilan itu sendiri.
Negara Hukum
Tidak tertutup mata ada oknum penegak hukum sengaja menyelewengkan secara sistematis atas nama keadilan. Kepura-puraan dalam keadilan, mistake justice maupun ketidakadilan membawa luka dan sakit hati yang mendalam, mencederai rasa keadilan. Semua itu melawan arus arti keadilan yang sebenarnya secara umum, sebagai kesepakatan bersama masyarakat untuk keteraturan, kebahagiaan, dan ketertiban bersama, dilandasi kasih sayang, manifestasi cinta sejati secara keseluruhan.
Secara sederhana John Rawls mengartikan keadilan sebagai "fairness"; masyarakat dibangun dengan sebuah "doktrin kontrak", yakni sebuah kontrak sosial antarsesama manusia lainnya. Di dalam "fairness" terkandung arti kejujuran (integrity), kesetaraan (equality), kebebasan (freedom). Mengembalikan keadilan ke makna asali, dengan demikian, berarti kembali ke asal mula dibangunnya sebuah hubungan manusia yang telah melakukan kontrak sosial.
Keadilan harus dapat menjawab problematika sebuah peristiwa hukum, dan memenuhi permintaan akan kata "keadilan". Kembali, masyarakat harus mengetahui dan sadar, dirinya terikat hidup dan kehidupannya dengan sebuah kontrak sosial. Sebuah kesepakatan bersama yang dinamakan negara hukum. Proses hukum dengan penegakan hukum akan berbuah kebenaran dan keadilan, yang mengembalikan keteraturan, ketertiban sesuai dambaan seluruh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar