
Peristiwa.
Analisaqq.net - "Kamu mau tahu pekerjaanku hari ini?," tanya Mayor Tom Egan kepada sang istri.
"Memangnya apa?," jawab sang istri.
"Aku menembakkan roket dan membunuh seorang komandan Taliban bersama keluarganya. Setelah itu, terlihat para tetangga berdatangan mencari jenazah mereka. Kemudian mereka segera menyiapkan pemakaman. Tapi datang perintah dan mengatakan mereka semua berbahaya dan aku diminta membunuhnya. Aku tidak yakin. Maka aku terpaksa menghabisi mereka saat sedang berada di pemakaman. Aku tidak yakin lagi dengan yang kukerjakan," ujar Tom.
Semua rahasia kelam ada di balik bilik berpendingin ruangan itu. Di dalamnya berisi lima orang. Letaknya ada di tengah lapangan udara Angkatan Udara AS di tengah gurun. Tom dan rekannya bisa berjam-jam berada di depan layar monitor. Dia adalah pilot drone.
Tom tadinya merupakan pilot pesawat tempur. Namun, dia mendapat tugas baru. Dia kini tidak harus terbang langsung di medan perang. Cukup mengendalikan batang kemudi dari 'Reaper'. Drone tempur yang mengudara dengan jarak terpaut sekitar 11 ribu kilometer lebih. Namun, karena terkadang perintahnya tidak masuk akal, dia mulai depresi. Alkohol menjadi pelariannya.
Semua kisah itu dijabarkan dalam film Good Kill, arahan sutradara Andrew Niccol. Dia ingin menyajikan kisah tentang dilema antara perintah dan moral seorang pilot drone yang rindu medan laga. Film serupa itu adalah Eye In The Sky dibintangi aktris gaek Inggris, Helen Mirren.
Kisah Tom sebenarnya diulik dari pengalaman seorang mantan operator drone, Brandon Bryant. Dia sempat mengkritik isi naskah awal film, dan membeberkan apa yang pernah dilaluinya. Dari angkasa, dia bisa melihat apa saja, termasuk kejahatan.
"Aspek kejiwaan adalah hal yang paling penting yang semestinya ditonjolkan. Sebab yang kami lakukan adalah menjauhkan para serdadu dari medan laga. Mereka tidak lagi berada di samping rekan-rekannya," kata Bryant, seperti dilansir dari situs www.newsweek.com.
Sebelas tahun lalu, Bryant adalah mahasiswa yang melarat. Dia butuh uang buat membayar kuliah. Rekannya kemudian meminta tolong diantar ke kantor perekrutan tentara. Rupanya dia kepincut. Sepekan kemudian, Bryant mendaftar masuk ke Angkatan Udara AS.
Setelah diterima, dia dilatih di Pangkalan Udara AS Lackland di Texas. Tugasnya adalah memandu misil ke target dengan bantuan laser. Hanya dalam enam bulan, dia mengaku menghabisi 13 sasaran dan orang sipil tak terhitung jumlahnya.
Bryant kembali mencoba mengingat pengalamannya di bilik kendali drone. Dia pernah diperintahkan membunuh tiga lelaki bersenjata di sebuah jalan di Afghanistan, tanpa pernah tahu siapa sebenarnya mereka. Menurut dia, dua orang kemudian terlihat berdebat. Satu lagi berdiri agak ke belakang. Atasannya memerintahkan dia menembak dua orang sedang berargumen. Alasannya: dua lebih baik ketimbang hanya satu. Jadilah roket dilepaskan.
Setelah roket menghantam, terlihat di monitor tubuh kedua lelaki itu sudah berserakan. Satu lagi kehilangan kaki dan darahnya mengucur, yang terlihat putih di layar karena menggunakan infra merah. Sejenak dia masih bergerak.
"Saya melihat dia mengalami perdarahan hebat. Tak berapa lama, dia terdiam. Warna tubuhnya lalu terlihat sama seperti tanah," ujar Bryant.
Tugas itu datang bertubi-tubi. Kemudian, Bryant mengaku hidupnya mulai tidak tenang. Hal itu juga mengusik kesadarannya.
"Saya jadi susah tidur. Saya benci kalau pekerjaan itu selalu terbayang saat mulai pulas," ucap Bryant.
Bryant mulai tidak betah dengan pekerjaannya. Lima tahun lalu, dia memilih keluar dari dinas dan menolak bonus sebesar USD 109 ribu. Sebelum pergi, dia diperlihatkan catatan kerjanya. Ternyata dia sudah mencabut nyawa 1,626 orang dalam tugasnya.
"Saya langsung mual setelah mendengarnya. Warga sipil tewas karena para komandan tidak peduli. Yang mereka tahu cuma mengejar target demi promosi jabatan," imbuh Bryant.
Karena selalu merasa resah, Bryant lantas mendatangi ahli kejiwaan. Setelah menjalani tes, dia mengidap gangguan stres pasca trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD). Hal itu menjadi pembahasan tersendiri. Ada yang mengatakan kejadian itu disebabkan konflik psikis bagi mereka yang berperang dari balik layar, bukan di medan laga.
"Kalau saya teringat hal itu lagi, selalu membuat naik pitam. Saya pasti marah atau depresi berat," ucap Bryant.
Hasil penelitian Departemen Pertahanan AS pada 2013 menunjukkan pilot drone memang mengalami gangguan kejiwaan, seperti PTSD, sama dengan para pilot jet tempur. Sedangkan dari telaah psikolog dan koordinator tim klinik PTSD di Lembaga Perawatan Kesehatan Veteran Louisiana Tenggara, Madeline Uddo, memang beberapa pilot drone mengidap itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar