Majalah Asia - Berita Terkini Dan Terupdate

BERITA TERKINI | BERITA VIRAL | TIPS | PERMAINAN ONLINE

Kamis, 04 Agustus 2016

Kisah dua orang warga Tanjung Balai setelah kerusuhan berakhir

Kisah dua orang warga Tanjung Balai setelah kerusuhan berakhir

Siang itu, pria berkaca mata minus dan berkulit kuning langsat itu tengah berada di dalam tempat ibadah kaum Konghucu yang sebagian dinding, tiang dan patung-patungnya sudah berubah menjadi kehitaman.

Edi Lho, begitulah dia mengenalkan diri. Dia adalah pengelola sebuah kelenteng di pusat kota Tanjung Balai, Sumatra Utara, yang dibakar oleh sekelompok orang pada Sabtu (30/07) dini hari lalu.

Wartawan di Medan, Maskur Abdullah menemuinya pada hari Rabu (07/08) yang terik. Mengenakan celana pendek dan berkaos hitam, mata Edi sesekali menatap lama sudut-sudut bangunan yang hangus terbakar.

Walaupun sebagian lantai bangunan kelenteng Dewi Samudera di pusat kota Tanjung Balai, terlihat bersih, aroma jelaga masih tercium.

Mata Edi terkadang menerawang, ketika mencoba mengingat lagi ketika massa beringas membakar tempat ibadahnya.

"Hangus semua, terbakar," suaranya lirih beradu dengan bunyi palu tukang dan raungan becak motor. Dia kemudian menghela napasnya.

"Altar, tempat dupa, ornamen-ornamen, sekalian (patung) dewa-dewanya habis semua."

Sebagai pengelola kelenteng itu, Edi layak merasa sedih - seperti juga yang dirasakan para korban kerusuhan lain di kota itu yang bangunan kelenteng dan viharanya dirusak atau dibakar.

Tetapi, sepertinya dia tidak mau menyalahkan siapa-siapa - atau tidak mau berterus-terang karena berbagai alasan.

Ketika ditanyakan apa yang dia pikirkan setelah rumah ibadahnya dibakar massa, dari mulutnya justru terlontar: "Ya namanya kejadian spontanitas, apalagi mau dibilang."

Tidak lama setelah kerusuhan Tanjung Balai berhasil diredahkan, keterangan resmi pemerintah menyebutkan aksi beringas massa itu akibat kesalahpahaman. Dikutip televisi dan media lainnya, pernyataan itu seperti itu terus diulang-ulang. Edi pun mengulanginya.

"Namanya pun ada kesalahpahaman sikit (sedikit) itu 'kan."

Temuan awal kepolisian mengungkapkan kerusuhan itu diawali permintaan seorang ibu agar sebuah masjid mengecilkan suara volume alat pengerasnya.

Rupanya, tindakan ini tidak bisa diterima, sehingga menimbulkan kemarahan sejumlah orang, walaupun akhirnya diredahkan oleh pimpinan lingkungan setempat. Polisi juga sempat turun tangan.

Sempat redah, tetapi beberapa jam kemudian muncul massa beringas yang membakar dan merusak sejumlah bangunan vihara, kelenteng dan kendaraan pribadi.

Sekali lagi, Edi tidak mau menyalahkan siapa-siapa. "Hubungan kami selama ini baik, baik..." Dia mengutarakan kalimat itu berulang-ulang.

Dia kemudian mengingat-ingat lagi pengalaman baik di antara dirinya dan warga setempat.

"Kalau kita bikin-bikin acara," ungkapnya, "warga lokal ada yang datang juga. Ikut merayakan gitu. Partisipasilah."

Kini, dia ingin bangunan ibadahnya yang hangus itu segera dapat diperbaiki. Agar aktivitas ibadah dapat digelar lagi, katanya.

Sejumlah pemberitaan menyebutkan sehari setelah kerusuhan, aparat TNI, polisi dan dibantu masyarakat, berpartiipasi aktif membersihkan bekas lokasi kerusuhan.

Di akhir wawancara, Edi mengutarakan sebuah kalimat yang barangkali paling sering diulang-ulang setiap terjadi kerusuhan atau konflik horisontal.

"Kalau bisa kerukunan itu harus ada. Jangan terulang kayak begini lagi. Sama-sama rukun sajalah." Nadanya terdengar bijak.

"Silaturahmi sajalah. Paling itu yang bisa kita usahakan. Akur-akur saja". Itulah kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya.
Puncak masalah

Di luar kelenteng itu, kesibukan kota terus berlanjut. Orang-orang hilir mudik, kehidupan ekonomi kota Tanjung Balai terus berdenyut, walaupun sejumlah aparat TNI dan polisi masih terlihat berjaga-jaga di depan vihara, kelenteng atau masjid.

Di luar kehadiran aparat keamanan, sepertinya normal-normal saja. Warga kota itu, baik warga Melayu, Tionghoa atau lainnya, berbaur seperti sebelum rusuh itu mengoyak kota pinggir pantai itu - dan melukainya.

Suara azan dan suara orang mengaji, dari alat pengeras suara masjid, juga terus terdengar. Seperti tidak ada yang berubah setelah amuk massa empat hari lalu.

Di sudut kota Tanjung Balai, seorang pria muda Muslim pun bersuara. Tanpa menyebut nama, dia melontarkan asumsinya atas kerusuhan yang baru terjadi.

Perusakan dan pembakaran tempat ibadah itu, demikian ungkapnya, adalah "puncak" dari masalah yang selama ini "terpendam"."Kita sudah lama memendamnya," akunya terus-terang.

Dia menyalahkan pemerintah kota Tanjung Balai yang disebutnya "menindas" dan lebih sering menyenangkan sebagian komunitas masyarakat di kota itu.

Tetapi pada akhirnya, kalimatnya tidak lagi meledak-ledak. Seperti yang sering terlontar dari mulut Edhi, pria muda ini mengeluarkan kalimat yang menenangkan pula di akhir wawancara: "Kita mestinya saling menghargai, walau beda etnis atau agama."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar