Majalah Asia - Berita Terkini Dan Terupdate

BERITA TERKINI | BERITA VIRAL | TIPS | PERMAINAN ONLINE

Kamis, 09 November 2017

Semoga Tak Ada Lagi Diskriminasi terhadap Pemeluk Keyakinan Apa Pun...

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (tengah) didampingi Hakim MK memimpin sidang dengan agenda pembacaan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (10/10). Dalam sidang tersebut Mahkamah Konstitusi memutus lima perkara yakni Pengujian UU tentang Narkotika, pengujian UU No.8 Tahun 1981 Pasal 83 ayat (1) dan Pasal 197 ayat (1) tentang Hukum Acara Pidana, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan pengujian Pasal 255 ayat (1) dan ayat (2) UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/kye/17



NASIONAL, AGEN SAKONG ONLINE - Anggota Komisi VIII DPR Deding Ishak berharap tak ada lagi diskriminasi terhadap pemeluk keyakinan apapun pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penghayat kepercayaan.

Putusan MK menyatakan bahwa penghayat kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama pada kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.

"Prinsipnya menyangkut hak universal, hak asasi manusia yang memang negara tidak boleh melakukan diskriminatif terhadap siapapun," kata Deding, saat dihubungi, Rabu (8/11/2017).

Deding berharap, mulai saat ini, setiap warga negara diayomi secara proporsional oleh negara.

Tak boleh ada hak-hak yang dihambat. Misalnya, untuk melaksanakan perkawinan dan hak-hak sipil lainnya, kata Deding, seringkali ada perlakuan diskriminatif karena latar belakang kepercayaan mereka.

Menurut Deding, ia kerap mendapatkan aduan seperti ini saat berkunjung ke daerah.

"Kalau nanti misalnya perkawinannya, tidak lagi dipersulit," ujar Politisi Partai Golkar itu.

Ia berharap, kementerian dan lembaga terkait bisa segera menindaklanjuti putusan tersebut. Misalnya, melalui revisi regulasi terkait.

"Jadi memang banyak hal yang harus diatur," kata Deding.

Dalam putusannya, Majelis Hakim MK berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang diakui pemerintah, dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.

Dalam putusannya, Majelis Hakim MK berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang diakui pemerintah, dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.

"Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan," ujar Ketua MK Arief Hidayat.

Selain itu, MK memutuskan pasal 61 Ayat (2) dan pasal 64 ayat (5) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

MK menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di KK dan e-KTP tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianutnya.

Hal tersebut diperlukan untuk mewujukan tertib administrasi kependudukan mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar